Cerita Liburan Di Thailand

 

Pack buck, kali ini saya mau bercerita trip solo saya ke destinasi yang kurang populer buat orang Indonesia, yaitu Thailand Selatan. Kenapa Thailand Selatan? Silakan disimak ya Pack-Buck.

-

Untuk menuju ke Thailand Selatan, saya membeli tiket promo pesawat Jakarta - Penang (Malaysia) yaitu seharga 263rb sudah pergi-pulang.

-

Dari penang naik Travel ke Hatyai (Thailand) selama 3 jam dan melintasi perbatasan Malaysia-Thailand di daerah Bukit Kayu Hitam. Saya super exited karena pertama kalinya melintasi perbatasan antar-negara melalui jalur darat. Sebelumnya pernah gagal melintas dari Thailand ke Laos karena keterbatasan di Visa, padahal tinggal beberapa langkah kaki.

-

Hatyai adalah kota terbesar di Thailand Selatan. Seperti halnya kota-kota Thailand pada umumnya, Hatyai berpenduduk mayoritas etnis Siam. Namun cukup mudah menemukan etnis melayu di kota ini, mereka banyak yang berdagang, mulai dari pakaian, oleh-oleh, hingga makanan halal.

-

Selama 3 hari berikutnya saya menjelajahi 3 Provinsi, yaitu Pattani, Yala, dan Narathiwat. Dari Hatyai ke Pattani naik Van, Pattani ke Yala naik Bus Kota, dari Yala ke Narathiwat hingga kembali ke Hatyai naik Kereta Api.

-

Jalanan di daerah tersebut sangat lah bagus dan tidak mengenal kata macet. Lalu lintas didominasi oleh mobil pickup maupun mobil double cabin. Sepertinya sudah jadi budaya orang thailand, kendaraan pribadu lebih diutamakan untuk mengangkut barang/bisnis, bukan mengangkut orang.

-

Di 3 provinsi ini, Etnis Melayu merupakan mayoritas. Sangat mudah menemukan masjid, dan hampir semua kedai makanan di sini menjual makanan halal. Pun dengan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Melayu Kampung, yaitu bahasa melayu dengan logat yang banyak vocal O, dan diucapkan lebih cepat. Kehidupan sehari-harinya pun mirip dengan beberapa daerah di Indonesia. Banyak bapack-bapack yg santai di kedai-kedai menggunakan kain sarung dan mengenakan peci, Masjid-masjid berjarak tidak berjauhan, Sekolah-sekolah berbentuk pondok pesantren, hingga remaja perempuan berseragam dan berkerudung panjang sedang menyeberang jalan sambil menjinjing beberapa buku.

-

Yang menarik, di 3 provinsi ini, selain menggunakan aksara Thai, untuk penanda tempat juga menggunakan aksara Jawi, atau sering disebut huruf Arab gundul. Walaupun ditulis dengan huruf arab, tetapi bahasanya tetap bahasa melayu. Ini sangat lah membantu karena aksara Thai sangat sulit dicerna.

-

Di samping itu semua, wilayah ini merupakan zona merah. Pattani dan wilayah di sekitarnya sudah lama menjadi daerah konflik. Selama perjalanan dari Hatyai menuju Pattani, saya melalui sekurang-kurangnya empat pos pemeriksaan oleh Angkatan Bersenjata dan Kepolisian Kerajaan Thailand. Dalam setiap checkpoint, terdapat beberapa personel Polisi Anti-Teror berseragam hitam, lengkap dengan helm anti peluru dan senjata laras panjang plus amunisi cadangan dalam tiga buah magazen yang terselip di rompi yang mereka kenakan. Pos yang mereka tempati pun tidak kalah lengkap, banyak kamera pengawas yang tersebar mengarah ke penjuru arah, jaring-jaring hitam untuk mengkamuflasekan bangunan pos, tumpukan karung berisi pasir untuk bertahan dari serangan, hingga kendaraan taktis yang siap sedia mengejar target jika berusaha melarikan diri.

-

Ketika di Pattani, saya terpaksa tidur di Masjid Besar Pattani untuk menghindari pemeriksaan aparat yang berpatroli 24 jam.

-

Di Yala saya menginap di rumah teman. Dia juga mengajak saya menghadiri Festival Melayu yang digelar selama 3 hari di pusat kota. Di Festival tersebut saya justru bertemu teman lama dari Palembang, dan juga beberapa perwakilan daerah untuk mewakili Indonesia di Festival Melayu. Sesuatu yang dangat tidak terduga.

-

Hari berikutnya saya ke Narathiwat untuk mengunjungi teman semasa kuliah. Kali ini saya mengunakan Kereta Api kelas Ekonomi yang jauh dari kata modern. Tanpa AC, tanpa kipas angin. Hanya angin dari jendela yang terbuka sangat lebar. Walaupun fasilitasnya tertinggal, tetapi budaya orang-oranynya sangat tertib. Tidak ada yang saling berebut tempat duduk walaupun kereta ini tidak memiliki nomor kursi, alias siapa cepat dia dapat.

-

Di Narathiwat saya hanya mengunjungi pantai bersama teman, dan sore harinya kembali ke stasiun untuk langsung menuju ke Hatyai.

-

Di hari yang sama pada malam hari, dari stasiun Hatyai saya berjalan kaki sejauh 3 KM menuju terminal bus. Dari Hatyai saya langsung menuju ke Pulau Phuket dengan Bus selama 5 jam. Bus nya sangat nyaman dengan harga yang terjangkau.

-

Saya berkeliling Pulau Phuket selama 3 hari 2 malam. Mulai dari pantai, bukit, hingga bar striptis saya kunjungi. Di hari terkahir di Phuket, saya berkunjung ke rumah teman saya dan dijamu dengan sangat baik, hingga diantar ke pemberhentian Bus untuk kembali ke Hatyai.

-

Di Hatyai saya hanya transit dan langsung naik Kereta Api menuju perbatasan Malaysia di daerah Padang Besar. Di perbatasan, saya berganti kereta Malaysia menuju Butterworth, Penang. Berpindah dsri kereta api Thailand ke Kereta Api Malaysia yang sangat modern seperti berpindah waktu selama 30 tahun. Perbedaannya sangat mencolok. Dari stasiun Butterworth saya naik ferry menuju Pulau Penang untuk bermalam dan menjelajahi Kota Georgetown. Keesokan paginya saya langsung menuju Bandara Penang dan terbang kembali ke Jakarta.

-

Catatan:

• Untuk menghemat biaya, saya naik bus yang malam hari dan tidur di perjalanan.

• Selain tempat menginap yang disebut di atas, saya menginap di hostel yang sangat murah.

• Setiap mampir di suatu kota, saya mewajibkan diri untuk singgah dan beribadah di Masjid setempat.

• Banyak orang tak terduga yang menolong saya. Merbot masjid, Imam masjid, penjual jus buah, pedagang kue canai, hingga sopir bus.

- - - - - - - -

Sekian pack buck curhatan tentang cuplikan perjalanan saya yang mungkin tidak akan saya akhiri. Janganlah ragu untuk bepergian seoranh diri, karena akan banyak hal yang akan ditemui, teman-teman baru, pengalaman baru, dan tentunya penuh dengan ketidakterdugaan.





Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
informasi